33
BINATANG KHAS SELURUH PROPINSI DI INDONESIA
1. CEUMPALA KUNENG (Trichixos pyrropygus)
KHAS NANGGROE ACEH DARUSSALAM
Ceumpala
Kuneng atau kucica ekor kuning adalah seekor spesies
burung dalam keluarga Muscicapidae.
Burung ini dapat ditemukan di Brunei, Indonesia, Malaysia dan Thailand. Habitat alaminya yaitu di hutan
dataran rendah yang lembab dan rawa-rawa di daerah subtropis atau tropis.
Burung ini merupakan fauna daerah Aceh yang dikenal dengan nama cémpala
kunèng dalam bahasa Aceh. Saat ini
burung ini berstatus hampir terancam. Burung ini tersebar di
Semenanjung Thailand, Semenanjung Malaya, Brunei dan Indonesia. Di Indonesia burung ini hanya
ditemukan di Sumatera dan Kalimantan. Burung ini berukuran sedang (21 cm), berekor panjang hitam dan
jingga. Jantan menyerupai kucica hutan tetapi
ekornya yang merah karat jauh lebih pendek, lebih banyak berwarna abu-abu gelap
daripada hitam, alis pendek putih dan tunggir merah karat. Betina lebih coklat
dan tidak punya alis putih. Burung remaja lebih coklat berbintik-bintik kuning
merah karat. Iris coklat; paruh hitam; kaki hitam. Kicauannya tidak semerdu
kucica hutan. Seri panjang terdiri dari siulan merdu, nada tunggal dan ganda,
“pi-uuu”, meningkat dan menurun bergantian secara tidak tetap. Burung yang
tidak umum dijumpai di kerimbunan hutan primer dan sekunder
dataran rendah sampai ketinggian 1200 m diatas permukaan laut. Lebih menyukai
hutan lembab rimbun termasuk hutan rawa.
2. BEO NIAS (Gracula religiosa robusta)
KHAS SUMATERA UTARA
Beo
nias merupakan salah satu subspesies (anak jenis) burung beo yang
hanya terdapat (endemik) di pulau Nias, Sumatera Utara. Beo nias yang mempunyai
ukuran paling besar dibandingkan subspesies beo lainnya paling populer dan
banyak diminati oleh para penggemar burung beo lantaran kepandaiannya dalam
menirukan berbagai macam suara termasuk ucapan manusia. Beo Nias ditetapkan
sebagai fauna
identitas provinsi Sumatera Utara. Subspesies beo yang mempunyai
nama latin Gracula religiosa robusta ini sering disebut juga sebagai Ciong
atau Tiong. Dalam bahasa Inggris, burung endemik ini biasa disebut Common
Hill Myna. Ciri dan Tingkah Laku Beo Nias. Beo nias (Gracula religiosa robusta) termasuk burung
berukuran sedang dengan panjang tubuh sekitar 40 cm. Ukuran beo nias lebih besar dari pada jenis
beo lainnya. Bagian kepala burung beo nias berbulu pendek. Sepanjang cuping
telinga beo nias menyatu di belakang kepala yang bentuknya menggelambir ke arah
leher. Gelambir cuping telinga ini berwarna kuning mencolok. Di bagian kepala beo nias
juga terdapat sepasang pial yang berwarna kuning dan terdapat di sisi kepala.
Iris mata burung endemik ini berwarna coklat gelap. Paruhnya runcing berwarna
kuning agak oranye. Hampir seluruh badan beo nias tertutup bulu yang berwarna
hitam pekat, kecuali pada bagian sayap yang berbulu putih. Kaki burung endemik
nias ini berwarna kuning dengan jari-jari berjumlah empat. Tiga jari di
antaranya menghadap ke depan, sedangkan sisanya menghadap ke belakang. Habitat
dan Persebaran. Burung beo nias (Gracula
religiosa robusta) merupakan satwa endemik Sumatera Utara yang hanya bisa
dijumpai di Pulau Nias dan sekitarnya seperti Pulau Babi, Pulau Tuangku, Pulau
Simo dan Pulau Bangkaru.
3. KUAU RAJA (Argusianus argus)
KHAS SUMATERA BARAT
Kuau
Raja atau dalam nama ilmiahnya Argusianus argus adalah salah
satu burung yang terdapat di dalam suku Phasianidae. Kuau Raja mempunyai bulu berwarna
coklat kemerahan dan kulit kepala berwarna biru. Burung jantan dewasa berukuran
sangat besar, panjangnya dapat mencapai 200 cm. Di atas kepalanya terdapat
jambul dan bulu tengkuk berwarna kehitaman. Burung jantan dewasa juga memiliki
bulu sayap dan ekor yang sangat panjang, dihiasi dengan bintik-bintik besar
menyerupai mata serangga atau oceli. Burung betina berukuran lebih kecil dari
burung jantan, panjangnya sekitar 75 cm, dengan jambul kepala berwarna
kecoklatan. Bulu ekor dan sayap betina tidak sepanjang burung jantan, dan hanya
dihiasi dengan sedikit oceli. Populasi Kuau Raja tersebar di Asia Tenggara. Spesies ini ditemukan di hutan
tropis Sumatra, Borneo dan Semenanjung Malaysia. Pada musim berbiak, burung
jantan memamerkan bulu sayap dan ekornya di depan burung betina. Bulu-bulu
sayapnya dibuka membentuk kipas,
memamerkan "ratusan mata" di depan pasangannya. Nama binomial spesies
ini diberikan oleh Carolus Linnaeus,
berdasarkan dari raksasa bermata seratus bernama Argus di mitologi Yunani. Burung betina menetaskan hanya
dua telur saja.
4. SERINDIT (Loriculus galgulus) KHAS RIAU
Serindit
melayu atau dalam nama ilmiahnya Loriculus galgulus adalah
sejenis burung yang terdapat di dalam genus burung serindit Loriculus. Burung ini berukuran kecil,
dengan panjang mencapai 12 cm. Bulunya didominasi oleh warna hijau dengan bulu ekor berwarna
merah. Burung jantan dan betina
serupa. Burung serindit jantan memiliki bercak kepala berwarna biru dan bercak
tenggorokan berwarna merah. Burung betina berwarna lebih kusam dibanding
jantan. Populasi Serindit melayu
tersebar di hutan dataran rendah, dari permukaan laut sampai ketinggian 1.300 m di negara Brunei, Indonesia, Malaysia, Singapura dan Thailand. Serindit Melayu hidup dalam kelompok. Burung ini memiliki
kebiasaan aktif memanjat dan berjalan daripada terbang. Saat istirahat, burung
serindit menggantungkan badan ke bawah. Pakannya terdiri dari sayuran hijau,
buah-buahan, padi-padian dan aneka serangga kecil. Burung betina biasanya
menetaskan antara tiga sampai empat butir telur yang dierami sekitar 18 sampai
20 hari.
5. IKAN KAKAP (Lutjanus sanguineus)
KHAS KEPULAUAN RIAU
Ikan
kakap adalah ikan laut dasaran yang hidup secara berkelompok di
dasar-dasar karang atau terumbu karang. Mempunyai ciri tubuh yang bulat pipih
dengan sirip memanjang sepanjang punggung. Jenis ikan kakap yang banyak ditemui
di Indonesia adalah jenis Kakap merah (L. campechanus) beberapa
jenis yang lain yang juga banyak ditemui adalah Kakap
kuning, Kakap
hitam dan kakap
merah. Ikan ini umumnya memangsa ikan-ikan kecil, udang. Bila kita memancing,
biasanya umpan-umpan itu yang biasa digunakan. Walau kadang juga dengan umpan
jig, suka terpancing. Bentuk tubuhnya bulat pipih memanjang dengan mempunyai
sirip di bagian punggung. Di bawah perut juga terdapat sirip. Di bagian dekat
anal juga terdapat sirip analnya. Sebagai penguasa karang, ikan kakap
dilengkapi dengan gigi untuk mengoyak mangsanya. Ketika ada makanan apa saja
yang hanyut langsung disergapnya. Ikan-ikan yang paling besar di kawasannya
selalu berada paling depan untuk memburu makanan.
6. HARIMAU SUMATERA (Panthera tigris
sumatrae) KHAS JAMBI
Harimau
Sumatera (Panthera tigris sumatrae) adalah subspesies harimau yang
habitat aslinya di pulau Sumatera, merupakan satu
dari enam subspesies harimau yang masih bertahan hidup hingga saat ini dan
termasuk dalam klasifikasi satwa kritis yang terancam punah (critically
endangered) dalam daftar merah spesies terancam yang dirilis Lembaga
Konservasi Dunia IUCN. Populasi liar diperkirakan antara 400-500
ekor, terutama hidup di taman-taman
nasional di Sumatera. Uji genetik mutakhir telah mengungkapkan
tanda-tanda genetik yang unik, yang menandakan bahwa subspesies ini mungkin
berkembang menjadi spesies terpisah, bila berhasil lestari. Harimau Sumatera adalah subspesies harimau terkecil. Harimau Sumatera
mempunyai warna paling gelap di antara semua subspesies harimau lainnya, pola
hitamnya berukuran lebar dan jaraknya rapat kadang kala dempet. Harimau Sumatera
jantan memiliki panjang rata-rata 92 inci dari kepala ke buntut atau sekitar
250 cm panjang dari kepala hingga kaki dengan berat 300 pound atau sekitar 140
kg, sedangkan tinggi dari jantan dewasa dapat mencapai 60 cm. Betinanya
rata-rata memiliki panjang 78 inci atau sekitar 198 cm dan berat 200 pound atau
sekitar 91 kg. Belang harimau Sumatera lebih tipis daripada subspesies harimau
lain. Warna kulit harimau Sumatera merupakan yang paling gelap dari seluruh
harimau, mulai dari kuning kemerah-merahan hingga oranye tua. Subspesies ini
juga punya lebih banyak janggut serta surai dibandingkan subspesies lain,
terutama harimau jantan. Ukurannya yang kecil memudahkannya menjelajahi rimba.
Terdapat selaput di sela-sela jarinya yang menjadikan mereka mampu berenang
cepat. Harimau ini diketahui menyudutkan mangsanya ke air, terutama bila
binatang buruan tersebut lambat berenang. Bulunya berubah warna menjadi hijau
gelap ketika melahirkan. Harimau Sumatera hanya ditemukan di pulau Sumatera. Kucing besar
ini mampu hidup di manapun, dari hutan dataran rendah sampai hutan pegunungan,
dan tinggal di banyak tempat yang tak terlindungi. Hanya sekitar 400 ekor
tinggal di cagar alam dan taman nasional, dan sisanya tersebar di daerah-daerah
lain yang ditebang untuk pertanian, juga terdapat lebih kurang 250 ekor lagi
yang dipelihara di kebun binatang di seluruh dunia. Harimau Sumatera mengalami
ancaman kehilangan habitat karena daerah sebarannya seperti blok-blok hutan
dataran rendah, lahan gambut dan hutan hujan pegunungan terancam pembukaan
hutan untuk lahan pertanian dan perkebunan komersial, juga perambahan oleh
aktivitas pembalakan dan pembangunan jalan. Karena habitat yang semakin sempit
dan berkurang, maka harimau terpaksa memasuki wilayah yang lebih dekat dengan
manusia, dan seringkali mereka dibunuh dan ditangkap karena tersesat memasuki
daerah pedesaan atau akibat perjumpaan yang tanpa sengaja dengan manusia.
7. IKAN BELIDA (Chitala lopis)
KHAS SUMATERA SELATAN
Ikan lopis atau ikan Belida merupakan jenis
ikan
sungai yang tergolong dalam suku Notopteridae (ikan berpunggung pisau). Ikan ini
lebih populer dengan nama ikan belida/belido, yang diambil dari nama salah
satu sungai di Sumatera Selatan yang menjadi habitatnya. Orang Banjar menyebutnya ikan pipih. Jenis ini dapat ditemui di Sumatra, Kalimantan, Jawa,
dan Semenanjung Malaya,
meskipun sekarang sudah sulit ditangkap karena rusaknya mutu sungai dan
penangkapan. Ikan ini merupakan bahan baku untuk sejenis kerupuk khas dari Palembang yang dikenal sebagai kemplang.
Dulu lopis juga dipakai untuk pembuatan pempek namun sekarang diganti dengan tenggiri. Tampilannya yang unik juga membuatnya
dipelihara di akuarium sebagai ikan hias. Karena berpotensi ekonomi
dan terancam punah, lembaga penelitian berusaha menyusun teknologi budidayanya.
Hingga 2005, Balai Budidaya Air Tawar Mandiangin, di Kalimantan Selatan
telah mencoba membudidayakan, menangkarkan serta memperbanyak benih
ikan belida. Ikan
belida ini sesungguhnya bukan ‘milik’ khas orang Palembang, karena sebarannya
cukup luas mulai dari India, Thailand, Malaysia, Brunei, dan Kalimantan. Dalam
bahasa Inggris ikan ini dinamakan ‘clown
knife fish’. Diberi atribut ‘clown’
karena di badan ikan ada corak bulat-bulat menyerupai pakaian badut, dan
disebut ‘knife fish’ karena bentuk
tubuhnya yang panjang pipih menyerupai pisau. Di Surabaya, ikan yang sudah
sangat langka ini dinamakan ‘ikan
peso/ikan pisau’. Di India, ikan ini dinamakan ‘chitala chitala’.Menurut legenda orang Palembang, ikan ini
dinamakan ‘belida’, karena dia tergolong ikan yang pandai bersilat lidah.
8. MENTILIN (Tarsius bancanus)
KHAS BANGKA BELITUNG
Tarsius
bancanus atau Mentilin
merupakan salah satu spesies tarsius. Primata endemik Sumatera dan Kalimantan, Indonesia ini ditetapkan sebagai Fauna
identitas provinsi Bangka Belitung. Tarsius bancanus dalam
bahasa Inggris sering disebut sebagai Horsfield’s Tarsier atau Western
Tarsier. Tarsius bancanus atau Horsfield’s Tarsier mempunyai
ciri-ciri dan perilaku seperti jenis-jenis tarsius lainnya. Panjang tubuhnya
sekitar 12-15 cm dengan berat tubuh sekitar 128 gram (jantan) dan 117 gram
(betina). Bulu tubuh Tarsius bancanus berwarna coklat kemerahan hingga abu-abu
kecoklatan. Tarsius bancanus tersebar di Indonesia (pulau Kalimantan, Sumatera,
dan pulau-pulau sekitar seperti Bangka, Belitung, dan Karimata), Malaysia (Sabah dan Serawak) dan Brunei
Darussalam.
Terdapat 4 (empat)
subspesies Tarsius bancanus, yaitu:
·
Tarsius bancanus bancanus
·
Tarsius bancanus borneanus
·
Tarsius bancanus natunensis
·
Tarsius bancanus saltator
9. BERUANG MADU (Helarctos malayanus) KHAS BENGKULU
Beruang
madu termasuk famili ursidae dan merupakan jenis paling
kecil dari kedelapan jenis beruang yang ada di dunia.
Beruang ini adalah fauna khas provinsi Bengkulu sekaligus dipakai sebagai simbol dari provinsi tersebut. Beruang madu juga merupakan
maskot dari kota Balikpapan.
Beruang madu di Balikpapan dikonservasi di sebuah hutan lindung bernama Hutan
Lindung Sungai Wain. Panjang tubuhnya 1,40 m, tinggi punggungnya 70 cm dengan berat
berkisar 50-65 kg. Bulu beruang madu cenderung pendek, berkilau dan pada
umumnya hitam, matanya berwarna cokelat atau biru,selain
itu hidungnya relatif lebar tetapi tidak terlalu
moncong. Jenis bulu beruang madu adalah yang paling pendek dan halus
dibandingkan beruang lainnya, berwarna hitam
kelam atau hitam kecoklatan, di bawah bulu lehernya
terdapat tanda yang unik berwarna oranye yang dipercaya
menggambarkan matahari terbit. Berbeda dengan beruang madu
dewasa, bayi beruang madu yang baru lahir memiliki bulu yang lebih lembut,
tipis dan bersinar. Karena hidupnya di pepohonan maka telapak kaki
beruang ini tidak berbulu sehingga ia dapat bergerak dengan kecepatan hingga 48 kilometer per jam dan memiliki tenaga yang sangat kuat. Beruang madu hidup di hutan-hutan
primer, hutan sekunder dan sering juga di lahan-lahan pertanian, mereka
biasanya berada di pohon pada ketinggian 2-7 meter dari tanah, dan suka
mematahkan cabang-cabang pohon atau membuatnya melengkung untuk membuat sarang.
Habitat beruang madu terdapat di daerah hujan
tropis Asia Tenggara. Penyebarannya terdapat di pulau Borneo, Sumatera, Indocina, Cina
Selatan, Burma, serta Semenanjung malaya. Oleh karena
itulah, jenis ini tidak memerlukan masa hibernasi seperti beruang lain yang tinggal di
wilayah empat musim. Beruang madu di masa lalu diketahui
tersebar hampir di seluruh benua Asia, namun
sekarang menjadi semakin jarang akibat kehilangan dan fragmentasi habitat.
10. GAJAH SUMATERA (Elephas maximus
sumatranus) KHAS LAMPUNG
Gajah
Sumatera adalah subspesies dari gajah Asia yang hanya berhabitat di pulau Sumatera. Gajah Sumatera berpostur lebih
kecil daripada subspesies gajah
India. Populasinya semakin menurun dan menjadi spesies yang sangat
terancam. Sekitar 2000-2700 ekor gajah Sumatera yang tersisa di alam liar
berdasarkan survei tahun 2000. Sebanyak 65% populasi gajah Sumatera lenyap
akibat dibunuh manusia dan 30% kemungkinan diracuni manusia. Sekitar 83%
habitat gajah Sumatera telah menjadi wilayah perkebunan akibat perambahan yang
agresif untuk perkebunan. Gajah sumatera adalah mamalia terbesar di Indonesia, beratnya mencapai 6 ton dan tumbuh
setinggi 3,5 m pada bahu. Periode kehamilan untuk bayi gajah adalah 22 bulan
dengan umur rata-rata sampai 70 tahun. Herbivora raksasa ini sangat cerdas dan memiliki
otak yang lebih besar dibandingkan dengan mamalia darat lain. Telinga yang
cukup besar membantu gajah mendengar dengan baik dan membantu mengurangi panas
tubuh seperti darah panas dingin ketika mengalir di bawah permukaan telinga.
Belalainya digunakan untuk mendapatkan makanan dan air, dan memiliki tambahan
dapat memegang (menggenggam) di ujungnya yang digunakan seperti jari untuk
meraup.
11. BADAK JAWA (Rhinoceros sondaicus) KHAS BANTEN
Badak
jawa atau Badak bercula-satu
kecil (Rhinoceros sondaicus) adalah anggota famili Rhinocerotidae dan satu dari lima badak
yang masih ada. Badak ini masuk ke genus yang sama dengan badak india dan memiliki kulit bermosaik yang
menyerupai baju baja. Badak ini memiliki panjang 3,1-3,2 m dan tinggi 1,4-1,7 m.
Badak ini lebih kecil daripada badak india dan lebih dekat dalam besar tubuh
dengan badak hitam. Ukuran culanya biasanya lebih
sedikit daripada 20 cm, lebih kecil daripada cula spesies badak lainnya. Badak
ini pernah menjadi salah satu badak di Asia
yang paling banyak menyebar. Meski disebut "badak jawa", binatang ini
tidak terbatas hidup di Pulau Jawa saja, tapi
di seluruh Nusantara, sepanjang Asia Tenggara dan di India
serta Tiongkok. Spesies ini kini statusnya sangat
kritis, dengan hanya sedikit populasi yang ditemukan di alam bebas, dan tidak
ada di kebun binatang. Badak ini kemungkinan adalah mamalia terlangka di bumi. Populasi 40 - 50
badak hidup di Taman Nasional
Ujung Kulon di pulau Jawa, Indonesia. Populasi badak Jawa di alam bebas
lainnya berada di Taman Nasional Cat
Tien, Vietnam dengan perkiraan populasi tidak lebih dari
delapan pada tahun 2007. Berkurangnya populasi badak jawa
diakibatkan oleh perburuan untuk diambil culanya, yang sangat berharga pada
pengobatan tradisional Tiongkok, dengan harga
sebesar $30.000 per kilogram di pasar gelap. Berkurangnya populasi badak ini
juga disebabkan oleh kehilangan habitat, yang terutama diakibatkan oleh perang,
seperti perang Vietnam di Asia Tenggara juga menyebabkan berkurangnya
populasi badak Jawa dan menghalangi pemulihan. Tempat yang tersisa hanya berada
di dua daerah yang dilindungi, tetapi badak jawa masih berada pada resiko
diburu, peka terhadap penyakit dan menciutnya keragaman genetik menyebabkannya
terganggu dalam berkembangbiak. WWF Indonesia mengusahakan untuk
mengembangkan kedua bagi badak jawa karena jika terjadi serangan penyakit atau
bencana alam seperti tsunami, letusan gunung
berapi Krakatau dan gempa bumi, populasi badak jawa akan langsung
punah. Selain itu, karena invasi langkap (arenga) dan kompetisi dengan banteng untuk ruang dan sumber,
maka populasinya semakin terdesak. Kawasan yang diidentifikasikan aman dan relatif
dekat adalah Taman Nasional Halimun
di Gunung Salak, Jawa Barat yang pernah menjadi habitat badak
Jawa.
Terdapat tiga subspesies,
yang hanya dua subspesies yang masih ada, sementara satu subspesies telah
punah:
· Rhinoceros sondaicus sondaicus, tipe subspesies yang diketahui sebagai badak Jawa Indonesia'
yang pernah hidup di Pulau Jawa dan Sumatra. Kini populasinya hanya sekitar
40-50 di Taman Nasional Ujung
Kulon yang terletak di ujung barat Pulau Jawa. Satu peneliti
mengusulkan bahwa badak jawa di Sumatra masuk ke dalam
subspesies yang berbeda, R.s. floweri, tetapi hal ini tidak diterima secara
luas.
· Rhinoceros sondaicus annamiticus, diketahui sebagai Badak
Jawa Vietnam atau Badak Vietnam,
yang pernah hidup di sepanjang Vietnam, Kamboja, Laos,
Thailand dan Malaysia. Annamiticus berasal dari deretan pegunungan Annam di Asia Tenggara, bagian dari tempat hidup spesies
ini. Kini populasinya diperkirakan lebih sedikit dari 12, hidup di hutan
daratan rendah di Taman Nasional Cat
Tien, Vietnam. Analisis genetika memberi kesan bahwa
dua subspesies yang masih ada memiliki leluhur yang sama antara 300.000 dan 2
juta tahun yang lalu.
·
Rhinoceros sondaicus inermis, diketahui sebagai Badak
jawa india, pernah hidup di Benggala sampai Burma
(Myanmar), tetapi dianggap punah pada dasawarsa awal tahun 1900-an. Inermis berarti tanpa cula,
karena karakteristik badak ini adalah cula kecil pada badak jantan, dan tak ada
cula pada betina. Spesimen spesies ini adalah betina yang tidak memiliki cula.
Situasi politik di Burma mencegah taksiran spesies ini di negara
itu, tetapi keselamatannya dianggap tak dapat dipercaya.
12. ELANG BONDOL (Haliastur indus)
KHAS DKI JAKARTA
Elang
bondol atau dalam nama ilmiahnya adalah Haliastur Indus adalah
spesies dari genus dari Haliastur. Burung Elang Bondol berukuran sedang (45
cm), berwarna putih dan coklat pirang. Elang bondol yang remaja berkarakter
seluruh tubuh kecoklatan dengan coretan pada dada. Warna berubah putih
keabu-abuan pada tahun kedua, dan mencapai bulu dewasa sepenuhnya pada tahun
ketiga. Ujung ekor bundar.Iris coklat, paruh dan sera abu-abu kehijauan, kaki
dan tungkai kuning suram. Ketika dewasa, karakter tubuhnya adalah kepala,
leher, dada putih. Sayap, punggung, ekor dan perut coklat terang. Kontras
dengan bulu primer yang hitam. Makanannya adalah hampir semua binatang, hidup
atau mati. Di perairan, makanannya berupa kepiting dan di daratan memakan anak ayam,
serangga dan mamalia
kecil. Sarang berukuran besar, dari ranting pada puncak pohon. Telur
berwarna putih, sedikit berbintik merah, jumlah 2-3 butir. Berkembang biak pada
bulan Januari - Agustus dan Mei - Juli. India, Cina selatan, Asia tenggara, Indonesia, Australia. Di
Indonesia, penyebarannya ada di Sumatera, Kalimantan, Jawa, Bali, Sulawesi,
Nusa Tenggara, Maluku, Papua. Sedangkan di Indonesia dan India, dapat ditemukan
di daerah pedalaman. Di Kalimantan sendiri, elang bondol dapat ditemui di
Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Keberadaan elang bondol disana melimpah.
13. MACAN TUTUL JAWA (Panthera pardus melas) KHAS
JAWA BARAT
Macan
tutul jawa (Panthera pardus melas) atau macan kumbang adalah salah satu
subspesies dari macan tutul yang hanya
ditemukan di hutan tropis, pegunungan dan kawasan konservasi Pulau Jawa, Indonesia. Ia memiliki dua variasi: berwarna
terang dan hitam (macan kumbang). Macan tutul jawa adalah satwa indentitas
Provinsi Jawa Barat. Dibandingkan dengan macan tutul
lainnya, macan tutul jawa berukuran paling kecil, dan mempunyai indra penglihatan dan penciuman yang tajam.
Subspesies ini pada umumnya memiliki bulu seperti warna sayap kumbang yang
hitam mengkilap dengan bintik-bintik gelap berbentuk kembangan yang hanya terlihat
di bawah cahaya terang. Bulu hitam Macan Kumbang sangat membantu dalam
beradaptasi dengan habitat hutan yang lebat dan gelap. Macan Kumbang betina
serupa, dan berukuran lebih kecil dari jantan. Hewan ini soliter, kecuali pada
musim berbiak. Ia lebih aktif berburu mangsa di malam hari. Mangsanya yang
terdiri dari aneka hewan lebih kecil biasanya diletakkan di atas pohon. Macan
tutul merupakan satu-satunya kucing besar yang masih tersisa di Pulau Jawa.
Frekuensi tipe hitam (kumbang) relatif tinggi. Warna hitam ini terjadi akibat
satu alel resesif yang dimiliki hewan ini. Sebagian besar populasi macan tutul
dapat ditemukan di Taman Nasional
Gunung Gede Pangrango, meskipun di semua taman nasional di Jawa
dilaporkan pernah ditemukan hewan ini, mulai dari Ujung Kulon hingga Baluran.
Berdasarkan dari hilangnya habitat hutan, penangkapan liar, serta daerah dan
populasi dimana hewan ini ditemukan sangat terbatas, macan tutul jawa
dievaluasikan sebagai Kritis sejak 2007 di dalam IUCN Red List dan didaftarkan dalam CITES
Appendix I. Satwa ini dilindungi di Indonesia, yang tercantum di dalam UU No.5
tahun 1990 dan PP No.7 tahun 1999.
14. KEPODANG EMAS (Oriolus chinensis) KHAS JAWA TENGAH
Kepodang emas adalah burung berkicau (Passeriformes) yang mempunyai bulu
yang indah dan juga terkenal sebagai burung pesolek yang selalu tampil cantik,
rapi dan bersih termasuk dalam membuat sarang. Kepodang merupakan salah satu jenis burung yang sulit
dibedakan antara jantan dan betinanya berdasarkan bentuk fisiknya. Burung kepodang termasuk
jenis burung kurungan karena dibeli oleh masyarakat sebagai penghias rumah,
oleh karenanya burung ini masuk dalam komoditas perdagangan yang membuat
populasinya semakin kecil. Burung kepodang berasal dari daratan China
dan penyebarannya mulai dari India, Asia Tenggara, kepulauan Philipina, termasuk Indonesia yang meliputi Sumatera, Jawa,
Bali,
Kalimantan, Sulawesi dan Nusa Tenggara. Burung ini hidup di hutan-hutan
terutama di daerah tropis dan sedikit di daerah sub tropis dan
biasanya hidup berpasangan . Di pulau Jawa dan Bali burung kepodang sering
disebut dengan kepodang emas. Burung kepodang berukuran relatif sedang, panjang
mulai ujung ekor hingga paruh berkisar 25 cm. Burung ini berwarna hitam dan kuning dengan strip hitam melewati mata
dan tengkuk, bulu terbang sebagian besar hitam.
Tubuh bagian bawah keputih-putihan dengan burik hitam, iris merah, bentuk paruh
meruncing dan sedikit melengkung ke bawah, ukuran panjang paruh kurang lebih 3
cm, kaki hitam. Burung ini menghuni hutan terbuka, hutan mangrove, hutan pantai, di tempat-tempat tersebut
dapat dikenali dengan kepakan sayapnya yang kuat, perlahan, mencolok dan
terbangnya menggelombang.
15. PERKUTUT (Geopelia striata)
KHAS DI YOGYAKARTA
Perkutut Jawa (Geopelia
striata, familia Columbidae) adalah sejenis burung berukuran kecil, berwarna abu-abu yang banyak
dipelihara orang karena keindahan suaranya. Dalam tradisi Indonesia, terutama Jawa,
hingga keadaannya di alam mulai terancam. Perkutut masih berkerabat dekat
dengan Tekukur Biasa, Dederuk Jawa, dan merpati. Burung perkutut bertubuh kecil.
Panjangnya berkisar antara 20-25 cm. Kepalanya membulat kecil, berwarna
abu-abu. Paruhnya panjang meruncing dengan berwarna biru keabu-abuan. Mata
burung perkutut bulat dengan iris berwarna abu-abu kebiru-biruan. Lehernya agak
panjang dan ditumbuhi bulu-bulu halus. Bulu disekitar dada dan leher membentuk
pola garis melintang berwarna hitam dan putih. Bulu yang menutupi badan
perkutut berwarna kecokelatan. Pada bulu sayap terdapat garis melintang
berwarna cokelat tua. Bulu ekornya yang juga berwarna cokelat agak panjang.
Jari-jari perkutut berjumlah 8 dengan kuku-kuku yang runcing. Jadi jumlah jari
sebelah kaki adalah 4. Tiga dari empat jarinya ada di depan dan sebuah jari di
belakang. Jari-jari perkutut berguna untuk bertengger.
16.
AYAM BEKISAR (Gallus varius)
KHAS JAWA TIMUR
Ayam
bekisar atau ayam hutan hijau (bahasa Latin
= Gallus varius) adalah nama sejenis burung yang termasuk kelompok unggas dari suku Phasianidae, yakni keluarga ayam, puyuh,
merak, dan sempidan.
Ayam hutan diyakini sebagai nenek moyang sebagian ayam
peliharaan yang ada di Nusantara. Ayam ini disebut dengan berbagai nama
di berbagai tempat, seperti canghegar atau cangehgar (Sd.), ayam alas (Jw.), ajem allas atau tarattah (Md.). Memiliki nama ilmiah Gallus varius
(Shaw, 1798), ayam ini dalam bahasa Inggris dikenal sebagai Green
Junglefowl, Javan Junglefowl, Forktail, atau Green
Javanese Junglefowl, merujuk pada warna dan asal tempatnya. Ayam yang
menyukai daerah terbuka dan berpadang rumput, tepi hutan
dan daerah dengan bukit-bukit rendah dekat pantai. Ayam-hutan Hijau diketahui menyebar terbatas di Jawa
dan kepulauan Nusa Tenggara
termasuk Bali. Di Jawa Barat tercatat hidup hingga ketinggian
1.500 m diatas permukaan laut, di Jawa Timur hingga 3.000 m diatas permukaan laut
dan di Lombok hingga 2.400 m diatas permukaan laut.
Pagi dan sore ayam ini biasa mencari makanan di tempat-tempat terbuka dan
berumput, sedangkan pada siang hari yang terik berlindung di bawah naungan
tajuk hutan. Ayam-hutan Hijau memakan aneka biji-bijian, pucuk rumput dan
dedaunan, aneka serangga, serta berbagai jenis hewan kecil
seperti laba-laba, cacing, kodok dan kadal
kecil. Ayam ini kerap terlihat dalam kelompok, 2-7 ekor atau lebih, mencari
makanan di rerumputan di dekat kumpulan ungulata besar seperti kerbau, sapi atau banteng. Selain memburu serangga yang terusik
oleh hewan-hewan besar itu, Ayam-hutan Hijau diketahui senang membongkar dan
mengais-ngais kotoran herbivora tersebut untuk
mencari biji-bijian yang belum tercerna, atau serangga yang memakan kotoran
itu. Pada malam hari, kelompok ayam hutan ini tidur tak berjauhan di rumpun bambu,
perdu-perduan, atau daun-daun palem hutan pada ketinggian
1,5-4 m di atas tanah. Ayam hutan hijau berbiak antara bulan Oktober-Nopember
di Jawa Barat dan sekitar Maret-Juli di Jawa Timur. Sarang dibuat secara
sederhana di atas tanah berlapis rumput, dalam lindungan semak atau rumput
tinggi. Telur 3-4 butir berwarna keputih-putihan. Tak seperti keturunannya ayam
kampung, Ayam-hutan Hijau pandai terbang. Anak ayam hutan ini telah mampu
terbang menghindari bahaya dalam beberapa minggu saja. Ayam yang dewasa mampu
terbang seketika dan vertikal ke cabang pohon di dekatnya pada ketinggian 7 m
atau lebih. Terbang mendatar, Ayam hutan Hijau mampu terbang lurus hingga
beberapa ratus meter; bahkan diyakini mampu terbang dari pulau ke pulau yang
berdekatan melintasi laut. Ayam hutan hijau adalah kerabat dekat leluhur ayam
peliharaan, ayam hutan merah
(Gallus gallus). Ayam hutan merah yang menyebar luas mulai dari Himalaya, Tiongkok selatan, Asia Tenggara, hingga ke Sumatra dan Jawa. Pada pihak lain, ayam-hutan
hijau tersebar di Jawa, Bali dan pulau-pulau Nusa Tenggara lainnya. Ayam hutan
dari Jawa Timur dikenal sebagai sumber tetua untuk menghasilkan ayam bekisar. Bekisar adalah persilangan antara
ayam hutan hijau dengan ayam kampung. Bekisar dikembangkan orang untuk
menghasilkan ayam hias yang indah bulunya, dan terutama untuk mendapatkan ayam
dengan kokok yang khas. Karena suaranya, ayam bekisar dapat mencapai harga yang
sangat mahal. Bekisar juga menjadi lambang fauna daerah Jawa Timur.
17.
JALAK BALI (Leucopsar rotschildi) KHAS BALI
Jalak
Bali (Leucopsar rothschildi) adalah sejenis burung pengicau berukuran sedang, dengan panjang
lebih kurang 25cm, dari suku Sturnidae. Jalak Bali
memiliki ciri-ciri khusus, di antaranya memiliki bulu
yang putih di seluruh tubuhnya kecuali pada ujung ekor dan sayapnya yang
berwarna hitam. Bagian pipi yang tidak ditumbuhi bulu, berwarna biru
cerah dan kaki yang berwarna keabu-abuan. Burung jantan dan betina serupa. Endemik Indonesia, Jalak Bali hanya ditemukan di hutan
bagian barat Pulau Bali. Burung ini
juga merupakan satu-satunya spesies endemik Bali dan pada tahun 1991
dinobatkan sebagai lambang fauna Provinsi Bali.
Keberadaan hewan endemik ini dilindungi undang-undang. Jalak Bali ditemukan
pertama kali pada tahun 1910. Nama ilmiah Jalak Bali dinamakan menurut
pakar hewan berkebangsaan Inggris, Walter Rothschild, sebagai orang pertama yang
mendeskripsikan spesies ini ke dunia pengetahuan pada tahun 1912.
Jenis ini aktif mencari makan di antara pohon dan tumbuhan bawah di hutan.
Utamanya di daerah ekoton yaitu antara kawasan berhutan dan padang rumput yang
luas, serta di sepanjang hutan pinggiran sungai. Umumnya hidup dalam kelompok
kecil atau berpasangan. Jalak bali merupakan burung yang jarang mencari makan
di atas permukaan tanah namun, saat musim kering ia akan turun ke tanah untuk
mencari avertebrata. Karena penampilannya yang indah dan elok, jalak Bali
menjadi salah satu burung yang paling diminati oleh para kolektor dan
pemelihara burung. Penangkapan liar, hilangnya habitat hutan, serta daerah
burung ini ditemukan sangat terbatas menyebabkan populasi burung ini cepat
menyusut dan terancam punah dalam waktu singkat. Untuk mencegah hal ini sampai
terjadi, sebagian besar kebun binatang di seluruh dunia menjalankan program
penangkaran jalak Bali. Ancaman utama yang dihadapi burung yang pertama kali
dideskripsikan tahun 1912 ini adalah adanya perubahan habitat alami di
sepanjang barat laut pantai Bali. Ancaman lainnya adalah penangkapan yang tidak
terkendali (ilegal) untuk memenuhi pasokan pasar dunia sebagai hewan
peliharaan. Populasinya yang sangat sedikit di alam, membuat IUCN menetapkan
statusnya Kritis (Critically Endangered/CR).
18. RUSA TIMOR (Cervus
timorensis) KHAS NUSA TENGGARA BARAT
Rusa Timor atau Rusa Sunda Sambar (Rusa timorensis)
adalah rusa asli pulau Jawa, Bali dan Timor (bersama dengan Timor
Leste). Ini juga merupakan spesies dikenali
di Irian Jaya, Kalimantan (Kalimantan), Kepulauan Sunda Kecil, Maluku, Sulawesi, Australia, Mauritius, Kaledonia Baru, Selandia Baru, Papua Nugini dan Réunion. Ini menempati
habitat yang sama dengan yang ada pada Chital of India membuka hutan
kering dan campuran gugur, taman, dan sabana. Ini adalah kerabat dekat yang
lebih besar Rusa Sambar . Hal ini
cukup diburu di Australia timur. Rusa ini telah membentuk populasi di daerah
terpencil pulau, mungkin dibawa ke sana oleh nelayan Indonesia. Mereka
beradaptasi dengan baik, hidup nyaman di semak kering Australia seperti yang
mereka lakukan di tanah air tropis mereka. Sifat ini ditunjukkan dengan baik
lebih seringnya ditemukan di pinggiran Wollongong dan Sydney dan khususnya di Royal National Park. Ini menunjukkan terus
meningkat kuatnya populasinya. Rusa timor (Cervus timorensis) yang
ditetapkan menjadi fauna identitas Nusa Tenggara Barat, mempunyai bulu berwarna
coklat kemerah-merahan hingga abu-abu kecoklatan dengan bagian bawah perut dan
ekor berwarna putih. Rusa timor dewasa mempunyai panjang badan berkisar antara
195-210 cm dengan tinggi badan mencapai antara 91-110 cm. Rusa timor (Cervus
timorensis) mempunyai berat badan antara 103-115 kg walaupun rusa timor
yang berada dipenangkaran mampu memiliki bobot sekitar 140 kg. Ukuran rusa
timor ini meskipun kalah besar dari sambar (Cervus unicolor) namun
dibandingkan dengan rusa jenis lainnya seperti rusa bawean, dan
menjangan, ukuran tubuh rusa timor lebih besar.
Subspesies
Rusa Timor. Whitehead (Schroder dalam Nugroho, 1992;
Semiadi, 2002) membagi jenis rusa timor (Cervus timorensis) menjadi 8
subspesies (anak jenis), yaitu:
·
Cervus timorensis russa (Mul.&Schl., 1844)
biasa ditemukan di Pulau Jawa.
· Cervus timorensis florensis (Heude, 1896) biasa
ditemukan Pulau Lombok dan Pulau Flores.
·
Cervus timorensis timorensis
(Martens, 1936) biasa ditemukan P. Timor, P. Rate, P. Semau, P. Kambing, P.
Alor, dan P. Pantai.
·
Cervus timorensis djonga (Bemmel, 1949) biasa
ditemukan P. Muna dan P. Buton.
· Cervus timorensis molucensis
(Q.&G.,1896) biasa ditemukan Kep. Maluku, P. Halmahera, P. Banda, dan P.
Seram.
·
Cervus timorensis macassaricus (Heude,
1896) biasa ditemukan P. Sulawesi.
·
Cervus timorensis renschi (Sody, 1933).
·
Cervus timorensis laronesietes (Bemmel,
1949)
19. KOMODO (Varanus
komodoensis) KHAS NUSA TENGGARA TIMUR
Komodo atau yang selengkapnya disebut biawak komodo (Varanus komodoensis), adalah spesies kadal
terbesar di dunia yang hidup di pulau Komodo, Rinca,
Flores, Gili Motang, dan Gili Dasami di Nusa Tenggara. Biawak ini oleh penduduk asli
pulau Komodo juga disebut dengan nama setempat ora. Termasuk anggota famili biawak Varanidae, dan klad
Toxicofera, komodo merupakan kadal terbesar di
dunia, dengan rata-rata panjang 2-3 m. Ukurannya yang besar ini
berhubungan dengan gejala gigantisme pulau, yakni kecenderungan
meraksasanya tubuh hewan-hewan tertentu yang hidup di pulau kecil terkait
dengan tidak adanya mamalia karnivora di pulau tempat hidup komodo, dan laju
metabolisme komodo yang kecil. Karena besar
tubuhnya, kadal ini menduduki posisi predator puncak yang mendominasi ekosistem tempatnya hidup. Komodo ditemukan oleh
peneliti barat tahun 1910. Tubuhnya yang besar dan reputasinya yang mengerikan
membuat mereka populer di kebun binatang. Habitat komodo di alam bebas telah
menyusut akibat aktivitas manusia dan karenanya IUCN
memasukkan komodo sebagai spesies yang rentan terhadap kepunahan. Biawak besar ini kini
dilindungi di bawah peraturan pemerintah Indonesia dan sebuah taman nasional, yaitu Taman Nasional Komodo,
didirikan untuk melindungi mereka. Di alam bebas, komodo dewasa biasanya
memiliki berat sekitar 70 kg, namun komodo yang dipelihara di penangkaran
sering memiliki bobot tubuh yang lebih besar. Spesimen liar terbesar yang
pernah ada memiliki panjang sebesar 3,13 m dan berat sekitar 166 kg, termasuk
berat makanan yang belum dicerna di dalam perutnya. Meski komodo tercatat
sebagai kadal terbesar yang masih hidup, namun bukan yang terpanjang. Reputasi
ini dipegang oleh biawak Papua (Varanus
salvadorii). Komodo memiliki ekor yang sama panjang dengan tubuhnya, dan
sekitar 60 buah gigi yang bergerigi tajam sepanjang sekitar 2,5 cm yang kerap diganti. Air liur komodo sering
kali bercampur sedikit darah karena giginya hampir seluruhnya dilapisi jaringan gingiva dan jaringan ini tercabik
selama makan. Kondisi ini menciptakan lingkungan pertumbuhan yang ideal untuk bakteri mematikan yang hidup di mulut mereka.
Komodo memiliki lidah yang panjang, berwarna kuning dan bercabang. Komodo
jantan lebih besar daripada komodo betina, dengan warna kulit dari abu-abu
gelap sampai merah batu bata, sementara komodo betina lebih berwarna hijau buah
zaitun dan memiliki potongan kecil kuning pada tenggorokannya. Komodo muda
lebih berwarna, dengan warna kuning, hijau dan putih pada latar belakang hitam.
Komodo tak memiliki indera pendengaran, meski memiliki lubang telinga. Biawak
ini mampu melihat hingga sejauh 300 m, namun karena retinanya hanya memiliki sel kerucut, hewan ini agaknya tak begitu baik
melihat di kegelapan malam. Komodo mampu membedakan warna namun tidak seberapa
mampu membedakan obyek yang tak bergerak. Komodo menggunakan lidahnya untuk
mendeteksi rasa dan mencium stimuli, seperti reptil
lainnya, dengan indera vomeronasal memanfaatkan
organ Jacobson, suatu kemampuan yang dapat
membantu navigasi pada saat gelap. Dengan bantuan angin dan kebiasaannya menelengkan
kepalanya ke kanan dan ke kiri ketika berjalan, komodo dapat mendeteksi
keberadaan daging bangkai sejauh 4-9,5 km. Lubang hidung komodo bukan merupakan
alat penciuman yang baik karena mereka tidak memiliki sekat rongga badan. Hewan ini tidak memiliki
indra perasa di lidahnya, hanya ada sedikit ujung-ujung saraf perasa di bagian
belakang tenggorokan. Sisik-sisik komodo, beberapa di antaranya diperkuat
dengan tulang, memiliki sensor yang terhubung dengan saraf yang memfasilitasi
rangsang sentuhan. Sisik-sisik di sekitar telinga, bibir, dagu dan tapak kaki
memiliki tiga sensor rangsangan atau lebih. Komodo pernah dianggap tuli ketika
penelitian mendapatkan bahwa bisikan, suara yang meningkat dan teriakan
ternyata tidak mengakibatkan agitasi (gangguan) pada komodo liar. Hal ini
terbantah kemudian ketika karyawan Kebun Binatang
London ZSL, Joan Proctor melatih biawak untuk keluar makan dengan
suaranya, bahkan juga ketika ia tidak terlihat oleh si biawak. Komodo secara
alami hanya ditemui di Indonesia, di pulau Komodo, Flores dan Rinca dan
beberapa pulau lainnya di Nusa Tenggara. Hidup
di padang rumput kering terbuka, sabana dan hutan tropis pada
ketinggian rendah, biawak ini menyukai tempat panas dan kering ini. Mereka
aktif pada siang hari, walaupun kadang-kadang aktif juga pada malam hari.
Komodo adalah binatang yang penyendiri, berkumpul bersama hanya pada saat makan
dan berkembang biak. Reptil besar ini dapat berlari cepat hingga 20 km per jam
pada jarak yang pendek berenang dengan sangat baik dan mampu menyelam sedalam
4,5 m serta pandai memanjat pohon menggunakan cakar mereka yang kuat. Untuk
menangkap mangsa yang berada di luar jangkauannya, komodo dapat berdiri dengan
kaki belakangnya dan menggunakan ekornya sebagai penunjang. Dengan bertambahnya
umur, komodo lebih menggunakan cakarnya sebagai senjata, karena ukuran tubuhnya
yang besar menyulitkannya memanjat pohon. Untuk tempat berlindung, komodo
menggali lubang selebar 1-3 m dengan tungkai depan dan cakarnya yang kuat.
Karena besar tubuhnya dan kebiasaan tidur di dalam lubang, komodo dapat menjaga
panas tubuhnya selama malam hari dan mengurangi waktu berjemur pada pagi
selanjutnya. Komodo umumnya berburu pada siang hingga sore hari, tetapi tetap
berteduh selama bagian hari yang terpanas. Tempat-tempat sembunyi komodo ini
biasanya berada di daerah gumuk atau perbukitan
dengan semilir angin laut, terbuka dari vegetasi, dan di sana-sini berserak kotoran
hewan penghuninya. Tempat ini umumnya juga merupakan lokasi yang strategis
untuk menyergap rusa. Pada akhir 2005, peneliti dari Universitas Melbourne, Australia, menyimpulkan bahwa biawak Perentie (Varanus giganteus) dan
biawak-biawak lainnya, serta kadal-kadal dari suku Agamidae, kemungkinan memiliki semacam bisa.
Selama ini diketahui bahwa luka-luka akibat gigitan hewan-hewan ini sangat
rawan infeksi karena adanya bakteria yang hidup di
mulut kadal-kadal ini, akan tetapi para peneliti ini menunjukkan bahwa efek
langsung yang muncul pada luka-luka gigitan itu disebabkan oleh masuknya bisa
berkekuatan menengah. Para peneliti ini telah mengamati luka-luka di tangan
manusia akibat gigitan biawak Varanus varius, V. scalaris dan
komodo, dan semuanya memperlihatkan reaksi yang serupa: bengkak secara cepat
dalam beberapa menit, gangguan lokal dalam pembekuan darah, rasa sakit yang
mencekam hingga ke siku, dengan beberapa gejala yang bertahan hingga beberapa
jam kemudian. Sebuah kelenjar yang berisi bisa yang amat beracun telah berhasil
diambil dari mulut seekor komodo di Kebun Binatang Singapura, dan meyakinkan para
peneliti akan kandungan bisa yang dipunyai komodo. Di samping mengandung bisa,
air liur komodo juga memiliki aneka bakteri mematikan di dalamnya lebih dari 28
bakteri Gram-negatif dan 29 Gram-positif telah diisolasi dari air liur ini.
Bakteri-bakteri tersebut menyebabkan septikemia pada korbannya. Jika gigitan komodo tidak langsung
membunuh mangsa dan mangsa itu dapat melarikan diri, umumnya mangsa yang sial
ini akan mati dalam waktu satu minggu akibat infeksi. Bakteri yang paling
mematikan di air liur komodo agaknya adalah bakteri Pasteurella multocida
yang sangat mematikan; diketahui melalui percobaan dengan tikus laboratorium.
Karena komodo nampaknya kebal terhadap mikrobanya sendiri, banyak penelitian
dilakukan untuk mencari molekul antibakteri dengan harapan dapat digunakan
untuk pengobatan manusia.
20. ENGGANG GADING (Rhinoplax vigil)
KHAS KALIMANTAN BARAT
Enggang
Gading atau Rangkong Gading (Buceros/rhinoplax
vigil) adalah burung berukuran besar dari keluarga Bucerotidae. Burung dini ditemukan di Semenanjung Malaya,
Sumatera, dan Kalimantan. Burung ini juga menjadi maskot
Provinsi Kalimantan Barat,
dan termasuk dalam jenis fauna yang dilindungi
undang-undang. Dalam budaya Kalimantan, burung Rangkong gading (tingan)
merupakan simbol "Alam Atas" yaitu alam kedewataan yang bersifat
"maskulin". Di Pulau Kalimantan,
burung Rangkong gading dipakai sebagai lambang daerah atau simbol organisasi
seperti di lambang negeri Sarawak, lambang provinsi Kalimantan Barat, satwa identitas provinsi Kalimantan Barat, simbol Universitas
Lambung Mangkurat dan sebagainya. Burung Rangkong (Enggang) adalah
burung yang terdiri dari 57 spesies yang tersebar di Asia dan Afrika. 14
diantaranya terdapat di Indonesia. Di antara enggang, jenis enggang gading
adalah yang terbesar ukurannya, baik kepala, paruh dan tanduknya yang menutupi
bagian dahinya. Enggang gading adalah salah satu dari 14 jenis burung rangkong
yang ada di Indonesia dan menjadi maskot provinsi Kalimantan Barat. Karena
jumlahnya yang semakin sedikit burung ini termasuk dalam jenis fauna yang
dilindungi undang-undang. Burung Enggang Gading diwujudkan dalam bentuk ukiran
pada Budaya
Dayak, sedangkan dalam budaya Banjar, burung Enggang Gading diukir
dalam bentuk tersamar (didistilir) karena Budaya Banjar tumbuh di bawah pengaruh agama
Islam yang melarang adanya ukiran makhluk bernyawa. Enggang Gading juga merupakan
simbol budaya suku Naga di India timur. Binatang yang dilindungi ini pada usia
mudanya mempunyai paruh dan mahkota berwarna putih. Seiring usianya, paruh dan
mahkotanya akan berubah warna menjadi oranye dan merah, ini akibat dari
seringnya enggang menggesekkan paruh ke kelenjar penghasil warna oranye merah
yang terletak di bawah ekornya. Burung ini menyukai daun Ara sebagai makanan
favoritnya, tapi tidak jarang juga makan serangga, tikus, kadal bahkan burung
kecil. Burung enggang biasa bertengger di pohon yang tinggi, sebelum terbang
Enggang memberikan tanda dengan mengeluarkan suara gak yang keras. Ketika sudah
mengudara kepakan sayap enggang mengeluarkan suara yang dramatik. Burung ini
hidup berkelompok sekitar 2 sampai 10 ekor tiap pohon. Terkadang burung terbang
bersama dalam jumlah antara 20-30 ekor. Suara enggang ini sangat khas dan
nyaring sekali seakan-akan memanggil sekawanannya di balik pohon yang rindang.
Musim telurnya dari bulan April sampai Juli dan anak-anak burung yang lebih
besar membantu burung jantan dewasa menyediakan makan bagi burung betina dan
anak-anaknya yang baru menetas. Namun sekarang ini burung enggang merupakan
burung langka yang sudah sangat sulit di temui di hutan Kalimantan, ini
dikarenakan pengerusakan hutan borneo yang terus-menerus terjadi, seperti
penebangan hutan baik illegal logging maupun untuk dijadikan lahan perkebunan
kelapa sawit. Nasib burung enggang ini sekarang sama seperti nasib suku Dayak
di borneo yang semakin terpinggirkan di tanahnya sendiri. Hal ini juga
diperparah dengan maraknya perburuan yang dilakukan masyarakat sekitar. Harga
persatu kepala burung Enggang dihargai Rp. 2,5 juta. Karena harganya yang mahal
banyak warga pedalaman berlomba berburu burung tersebut dihutan.
21. KUAU KERDIL KALIMANTAN (Polyplectron schleiermacheri)
KHAS KALIMANTAN TENGAH
Kuau-kerdil
Kalimantan, Polyplectron schleiermacheri, adalah
jenis kuau-kerdil berukuran sedang yang berhabitat di hutan hujan
dataran rendah Pulau Kalimantan. Kuau ini adalah jenis kuau
merak yang paling langka dan sudah jarang ditemui. Cirinya adalah ukuran
tubuhnya yang maksimal dapat tumbuh sampai 50 cm dengan bintik-bintik pada
tubuhnya. Kuau merak Kalimantan masih berkerabat dengan kuau-kerdil Malaya
dan kuau-kerdil
Palawan. Beberapa ilmuwan menganggap jenis ini merupakan subspesies
dari kuau-kerdil Malaya.
Berukuran sedang (jantan 42 cm, betina 38 cm). Pada sayap dan ekor, terdapat
tanda bintik metalik berbentuk seperti mata (hijau pada jantan, biru pada
betina). Jantan: jambul hijau metalik, dada hijau keunguan mengkilap,
tenggorokan dan bercak dada putih. Betina: lebih suram dan lebih biru.
Keduanya: pipi dan tenggorokan kuning pucat, kontras dengan bulu lainnya. Iris
kuning, paruh kehijauan gelap, kulit muka gundul dan merah, kaki dan tungkai
hitam (jantan dengan dua taji). Burung pemalu yang jarang ditemui, hanya
diketahui di tempat-tempat yang terpencar di hutan dataran rendah sampai
ketinggian 1100 m. Hidup di hutan primer. Bertengger di pohon, tetapi berjalan
diam-diam di lantai hutan sepanjang siang. Jantan bersuara serta memainkan
sayap dan ekornya, tetapi tidak punya tempat menetap.
22. BEKANTAN (Nasalis larvatus)
KHAS KALIMANTAN SELATAN
Bekantan atau dalam nama ilmiahnya Nasalis larvatus adalah sejenis monyet berhidung panjang dengan rambut berwarna coklat
kemerahan dan merupakan satu dari dua spesies dalam genus
tunggal monyet Nasalis. Ciri-ciri utama yang membedakan bekantan dari
monyet lainnya adalah hidung panjang dan besar yang
hanya ditemukan di spesies jantan. Fungsi dari hidung
besar pada bekantan jantan masih tidak jelas, namun ini mungkin disebabkan oleh
seleksi alam. Monyet betina lebih memilih jantan dengan hidung besar sebagai
pasangannya. Karena hidungnya inilah, bekantan dikenal juga sebagai monyet Belanda. Dalam bahasa Brunei (kxd) disebut bangkatan.
Bekantan jantan berukuran lebih besar dari betina. Ukurannya dapat mencapai 75
cm dengan berat mencapai 24 kg. Monyet betina berukuran 60 cm dengan berat 12
kg. Spesies ini juga memiliki perut yang besar, sebagai hasil dari kebiasaan
mengonsumsi makanannya. Selain buah-buahan dan biji-bijian, bekantan memakan
aneka daun-daunan, yang menghasilkan banyak gas pada waktu dicerna. Ini
mengakibatkan efek samping yang membuat perut bekantan jadi membuncit. Bekantan
tersebar dan endemik di hutan bakau, rawa
dan hutan
pantai di pulau Borneo (Kalimantan, Sabah, Serawak dan Brunai). Spesies
ini menghabiskan sebagian waktunya di atas pohon dan hidup dalam
kelompok-kelompok yang berjumlah antara 10 sampai 32 monyet. Sistem sosial
bekantan pada dasarnya adalah One-male group, yaitu satu kelompok terdiri dari
satu jantan dewasa, beberapa betina dewasa dan anak-anaknya. Selain itu juga
terdapat kelompok all-male, yang terdiri dari beberapa bekantan jantan. Jantan
yang menginjak remaja akan keluar dari kelompok one-male dan bergabung dengan
kelompok all-male. Hal itu dimungkinkan sebagai strategi bekantan untuk
menghindari terjadinya inbreeding. Bekantan juga dapat berenang dengan baik,
kadang-kadang terlihat berenang dari satu pulau ke pulau lain. Untuk menunjang
kemampuan berenangnya, pada sela-sela jari kaki bekantan terdapat selaputnya.
Selain mahir berenang bekantan juga bisa menyelam dalam beberapa detik,
sehingga pada hidungnya juga dilengkapi semacam katup. Bekantan merupakan maskot fauna provinsi Kalimantan Selatan.
Berdasarkan dari hilangnya habitat hutan dan penangkapan liar yang terus berlanjut,
serta sangat terbatasnya daerah dan populasi habitatnya, bekantan dievaluasikan
sebagai Terancam Punah di dalam IUCN Red List. Spesies ini didaftarkan dalam CITES
Appendix I.
23. PESUT MAHAKAM (Orcaella brevirostris) KHAS
KALIMANTAN TIMUR
Tidak ada catatan fosil.
Pesut pertama kali dideskripsikan oleh Sir Richard Owen tahun
1866 berdasarkan satu spesiemen yang ditemukan tahun 1852, di pelabuhan
Vishakhapatnum di pantai timur India. Pesut adalah satalh satu spesies dari
genus Orcaella. Kadang-kadang pesut terdaftar dalam beragam famili yang
terdiri dari ia sendiri dan pada Monodontidae dan dalam Delphinapteridae. Sekarang
ada persetujuan bahwa pesut termasuk famili Delphinidae. Secara
genetis, pesut berhubungan dekat dengan paus pembunuh.
Nama spesies brevirostris berasal dari bahasa Latin
yang berarti berparuh pendek. Tahun 2005, analisis genetik menunjukkan bahwa
lumba-lumba sirip pendek Australia merupakan spesies kedua dari genus Orcaella.
Seluruh tubuh berwarna kelabu hingga biru tua, bagian bawahnya berwarna lebih
pucat. Tidak ada pola yang khas. Sirip punggung kecil dan membulat di tengah
punggung. Dahinya tinggi dan membulat; tidak bermoncong. Sirip tangan lebar
membulat. Spesies di Kalimantan yang mirip adalah Porpoise tak bersirip,
Neophocaena phocaenoides, mirip tapi tidak punya sirip punggung:
lumba-lumba bungkuk, Sausa chinensis, lebih besar, moncong lebih panjang
dan sirip punggung lebih besar. Dalam berbagai bahasa Orcaella brevirostris
(nama Latin)
adalah: Inggris: Irrawaddy dolphin, Dialek lokal
Chilika: Baslnyya Magaratau Bhuasuni Magar (lumba-lumba penghasil
minyak), Oriya: Khem dan Khera, Perancis:
Orcelle, Spanyol: DelfÃn del Irrawaddy, Jerman:
Irrawadi Delphin, Burma: Labai, Indonesia:
Pesut, Melayu: Lumbalumba, Khmer: Ph’sout,
Lao: Pha’ka
and Filipino: Lampasut. Dalam bahasa Thai,
salah satu namanya adalah pÃa loma hooa baht, karena kepalanya yang
membundar dianggap menyerupai mangkuk rahib Budhha, hooa baht.
Penampilan pesut mirip dengan beluga,
meski lebih berkerabat dengan orka.
Spesies ini mempunyai melon (jaringan berlemak dan berminyak di kepala).
Moncongnya tidak khas. Sirip punggung yang terletak dua pertiga posterior di
punggung, pendek, tumpul, dan segitiga. Sirip tangan panjang dan lebar. Secara
keseluruhan ia berwarna cerah, namun lebih putih di bawah tubuh daripada di
punggung. Pesut dewasa beratnya lebih dari 130 kg dan panjangnya 2,3 m psaat
dewasa. Panjang maksimum yang tercatat adalah jantan 2,75 m dari Thailand.
24. JULANG SULAWESI (Aceros cassidix)
KHAS SULAWESI SELATAN
Julang
sulawesi (Aceros cassidix) adalah spesies burung rangkong
dalam famili Bucerotidae. Burung ini endemik
di Sulawesi. Di daerah Minahasa. burung ini dikenal dengan nama Burung Taong. Burung
ini memiliki warna mencolok mata, dengan warna tubuh hitam, paruh kuning emas,
dan warna merah mencolok di atas paruhnya, ekor berwarna putih, warna biru di
sekitar mata, kaki kehitaman dan warna leher biru. Berukuran sangat besar (104
cm), berekor putih dan paruh bertanduk. Jantan: tanduk merah tua; kepala, leher
dan dada bungalan merah-karat. Betina: kepala dan leher hitam, tanduk kuning
lebih kecil. Panjang tubuh dapat mencapai 100 cm pada
jantan, dan 88 cm pada betina. Julang Sulawesi memiliki tanduk (casque)
yang besar di atas paruh, berwarna merah pada jantan dan kuning pada betina.
Paruh berwarna kuning dan memiliki kantung biru pada tenggorokan. Julang
sulawesi menghuni hutan primer dan hutan rawa. Terkadang ditemukan di hutan sekunder yang tinggi
dan petak hutan yang tersisa dengan lahan pertanian yang luas. Terkadang pula
mengunjungi hutan bakau. Julang Sulawesi biasa terbang di atas dan
sekeliling tajuk dalam kelompok-kelompok kecil yang terpisah, namun terkadang
berkelompok sampai lima puluh individu atau lebih. Ketika terbang sayapnya
berbunyi berisik seperti mesin uap. Julang sulawesi adalah spesies endemik
di Pulau Sulawesi
dan beberapa pulau satelit. Burung yng umum dijumpai, menghuni hutan
primer dan hutan rawa. Kadang di hutan sekunder yang tinggi dan petak-petak
hutan yang tersisa dalam lahan budidaya yang luas, juga mengunjungi hutan
mangrove. Dari permukaan laut sampai ketinggian 1100 m kadang sampai 1800 m.
Makanannya antara lain buuah-buahan, serangga, juga telur dan anakan burung.
Biasanya mencari makanan di tajuk atas pohon. Musim berbiak pada
Juni-September. Bersarang pada lubang/ceruk pohon yang besar. Selama mengerami
telur, betina tidak keluar dari sarang, makanan disediakan oleh jantan.
Biasanya hanya membesarkan satu ekor anakan.Sulawesi
seperti Pulau Lembeh,
Kepulauan Togian, Pulau Muna
dan Pulau Butung.
25. MANDAR DENGKUR (Aramidopsis plateni) KHAS SULAWESI BARAT
Mandar dengkur (bahasa Latin:
Aramidopsis plateni) adalah burung endemik Sulawesi
dan merupakan fauna identitas provinsi Sulawesi Barat.
Burung ini rentan terhadap kepunahan.
Tinggi burung ini adalah 29 cm, paruhnya agak panjang, muka dan bagian bawahnya
berwarna abu-abu; tenggorokan keputih-putihan; sisi perut berpalang hitam dan
putih dan paruhnya
berwarna kemerahan. Bunyi burung mandar dengkur adalah lebih terdengar
mendengkur tenang selama 1-2 detik, termasuk suara singkat wheez yang diikuti
cepat oleh suara dengkur ee-orrrr yang berlarut-larut, panjang, yang dengan
mudah bisa salah dikenali sebagai suara babi liar.
Juga suara napas yang singkat dan redam. Hidup berpasangan atau berkelompok
dalam jumlah kecil. Sangat mencolok ketika terbang, dengan kepakan sayap yang
cepat dan kuat diselingi gerakan melayang serta saling meneriaki. Bila sedang
bersuara dari tempat bertengger, jambul ditegakkan lalu diturunkan. Jenis ini
tertekan dengan ledakan populasi yang mengejutkan selama 10-15 tahun terakhir,
akibat penangkapan yang berlebihan untuk perdagangan burung dalam sangkar, dan
sekarang langka akibat kegiatan ini. Menghuni hutan primer dan sekunder yang
tinggi dan tepi hutan; juga hutan monsun (Nusa Tenggara), hutan yang tinggi
bersemak, semak yang pohonnya jarang dan lahan budidaya yang pohonnya jarang.
Mandar dengkur adalah pemakan segala atau omnivora,
akan tetapi burung ini lebih sering memakan tumbuhan.
Habitat mandar dengkur adalah hutan primer dan hutan sekunder berpohon tinggi
di dataran rendah hingga ketinggian 1300 m diatas permukaan laut.
26. ANOA (Bubalus depressicornis) KHAS SULAWESI TENGGARA
Anoa adalah hewan khas Sulawesi. Ada dua spesies anoa yaitu: Anoa
Pegunungan (Bubalus quarlesi) dan Anoa Dataran Rendah (Bubalus depressicornis). Keduanya tinggal
dalam hutan yang tidak dijamah manusia. Penampilan mereka mirip dengan kerbau dan memiliki
berat 150-300 kg. Anak anoa akan dilahirkan sekali setahun. Kedua spesies
tersebut dapat ditemukan di Sulawesi, Indonesia. Sejak tahun 1960-an berada dalam status terancam punah.
Diperkirakan saat ini terdapat kurang dari 5000 ekor yang masih bertahan hidup.
Anoa sering diburu untuk diambil kulitnya, tanduknya dan dagingnya. Anoa
Pegunungan juga dikenal dengan nama Mountain Anoa, Anoa de Montana, Anoa de
Quarle, Anoa des Montagnes, dan Quarle's Anoa. Sedangkan Anoa Dataran Rendah
juga dikenal dengan nama Lowland Anoa, Anoa de Ilanura, atau Anoa des Plaines.
Secara umum, anoa mempunyai warna kulit mirip kerbau, tanduknya lurus ke
belakang serta meruncing dan agak memipih. Hidupnya berpindah-pindah tempat dan
apabila menjumpai musuhnya anoa akan mempertahankan diri dengan mencebur ke
rawa-rawa atau apabila terpaksa akan melawan dengan menggunakan tanduknya. Anoa Dataran Rendah (Bubalus
depressicornis) sering disebut sebagai Kerbau kecil, karena Anoa
memang mirip kerbau, tetapi pendek serta lebih kecil ukurannya, kira-kira
sebesar kambing. Spesies bernama latin Bubalus depressicornis ini
disebut sebagai Lowland Anoa, Anoa de Ilanura, atau Anoa des Plaines. Anoa yang
menjadi fauna identitas
provinsi Sulawesi tenggara ini lebih sulit ditemukan dibandingkan anoa
pegunungan. Anoa dataran rendah (Bubalus depressicornis) mempunyai ukuran
tubuh yang relatif lebih gemuk dibandingkan saudara dekatnya anoa pegunungan (Bubalus
quarlesi). Panjang tubuhnya sekitar 150 cm dengan tinggi sekitar 85 cm.
Tanduk anoa dataran rendah panjangnya 40 cm. Sedangkan berat tubuh anoa dataran
rendah mencapai 300 kg. Anoa dataran rendah dapat hidup hingga mencapai usia 30
tahun yang matang secara seksual pada umur 2-3 tahun. Anoa betina melahirkan
satu bayi dalam setiap masa kehamilan. Masa kehamilannya sendiri sekitar 9-10
bulan. Anak anoa akan mengikuti induknya hingga berusia dewasa meskipun telah
disapih saat umur 9-10 bulan. Sehingga tidak jarang satu induk terlihat bersama
dengan 2 anak anoa yang berbeda usia. Anoa dataran rendah hidup dihabitat mulai
dari hutan pantai sampai dengan hutan dataran tinggi dengan ketinggian 1000 m
diatas permukaan laut. Anoa menyukai daerah hutan ditepi sungai atau danau
mengingat satwa langka yang dilindungi ini selain membutuhkan air untuk minum
juga gemar berendam ketika sinar matahari menyengat. Anoa pegunungan (Bubalus quarlesi) sering disebut juga
sebagai Mountain Anoa, Anoa de montagne, Anoa de Quarle, Berganoa, dan Anoa de
montaña. Dalam bahasa latin anoa pegunungan disebut Bubalus quarlesi.
Anoa pegunungan mempunyai ukuran tubuh yang lebih ramping dibandingkan anoa datarn
rendah. Panjang tubuhnya sekitar 122-153 cm dengan tinggi sekitar 75 cm.
Panjang tanduk anoa pegunungan sekitar 27 cm dengan berat tubuh dewasa sekitar
150 kg. Anoa pegunungan berusia antara 20-25 tahun yang matang secara seksual
saat berusia 2-3 tahun. Seperti anoa dataran rendah, anoa ini hanya melahirkan
satu bayi dalam setiap masa kehamilan yang berkisar 9-10 bulan. Anak anoa akan
mengikuti induknya hingga berusia dewasa meskipun telah disapih saat umur 9-10
bulan. Sehingga tidak jarang satu induk terlihat bersama dengan 2 anak anoa
yang berbeda usia. Anoa pegunungan berhabitat di hutan dataran tinggi hingga
mencapai ketinggian 3000 m diatas permukaan laut meskipun terkadang anoa jenis
ini terlihat turun ke pantai untuk mencari garam mineral yang diperlukan dalam
proses metabolismenya. Anoa pegunungan cenderung lebih aktif pada pagi hari,
dan beristirahat saat tengah hari. Anoa sering berlindung di bawah pohon-pohon
besar, di bawah batu menjorok, dan dalam ruang di bawah akar pohon atau
berkubang di lumpur dan kolam. Tanduk anoa digunakan untuk menyibak semak-semak
atau menggali tanah Benjolan permukaan depan tanduk digunakan untuk menunjukkan
dominasi, sedangkan pada saat perkelahian, bagian ujung yang tajam menusuk ke
atas digunakan dalam upaya untuk melukai lawan. Ketika bersemangat, anoa
pegunungan mengeluarkan suara “moo”. Populasi
dan Konservasi. Anoa semakin hari semakin langka dan sulit ditemukan.
Bahkan dalam beberapa tahun terakhir anoa dataran rendah (Bubalus
depressicornis) yang menjadi maskot provinsi Sulawesi Tenggara tidak pernah
terlihat lagi. Karena itu sejak tahun 1986, IUCN Redlist memasukkan kedua jenis
anoa ini dalam status konservasi “endangered” (Terancam Punah). Selain itu CITES
juga memasukkan kedua satwa langka ini dalam Apendiks I yang berarti tidak
boleh diperjual belikan. Pemerintah Indonesia juga memasukkan anoa sebagai
salah satu satwa yang
dilindungi dalam Peraturan
Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999 tentang
Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Beberapa daerah yang masih terdapat satwa
langka yang dilindungi ini antaranya adalah Cagar Alam Gunung Lambusango, Taman
Nasional Lore-Lindu dan TN Rawa Aopa Watumohai (beberapa pihak menduga sudah
punah). Anoa sebenarnya tida mempunyai musuh (predator) alami. Ancaman
kepunahan satwa endemik Sulawesi ini lebih disebabkan oleh deforestasi hutan
(pembukaan lahan pertanian dan pemukiman) dan perburuan yang dilakukan manusia
untuk mengambil daging, kulit, dan tanduknya.
27.MALEO SENKAWOR (Macrocephalon maleo) KHAS SULAWESI TENGAH
Maleo
Senkawor atau Maleo, yang
dalam nama ilmiahnya Macrocephalon maleo adalah sejenis burung gosong
berukuran sedang, dengan panjang sekitar 55 cm, dan merupakan satu-satunya burung di dalam
genus tunggal Macrocephalon. Yang unik dari maleo adalah, saat baru
menetas anak burung maleo sudah bisa terbang. Ukuran telur burung maleo
beratnya 240 gram hingga 270 gram per butirnya, ukuran rata-rata 11 cm, dan
perbandingannya sekitar 5 hingga 8 kali lipat dari ukuran telur ayam. Namun saat ini mulai
terancam punah karena habitat yang semakin sempit dan telur-telurnya yang diambil
oleh manusia.
Diperkirakan jumlahnya kurang dari 10.000 ekor saat ini. Burung ini memiliki
bulu berwarna hitam, kulit sekitar mata berwarna kuning, iris mata merah
kecoklatan, kaki abu-abu, paruh jingga dan bulu sisi bawah berwarna merah-muda
keputihan. Di atas kepalanya terdapat tanduk atau jambul keras berwarna hitam.
Jantan dan betina serupa. Biasanya betina berukuran lebih kecil dan berwarna
lebih kelam dibanding burung jantan. Tidak semua tempat di Sulawesi bisa
ditemukan maleo. Sejauh ini, ladang peneluran hanya ditemukan di daerah yang
memliki sejarah geologi yang berhubungan dengan lempeng pasifik atau Australasia.
Populasi
hewan endemik
Indonesia
ini hanya ditemukan di hutan
tropis
dataran rendah pulau Sulawesi khususnya daerah Sulawesi Tengah,
yakni di daerah Kabupaten Sigi (Desa Pakuli dan sekitarnya) dan Kabupaten Banggai.
Populasi maleo di Sulawesi mengalami penurunan sebesar 90% semenjak tahun 1950-an.
Berdasarkan pantauan di Tanjung Matop, Tolitoli, Sulawesi Tengah,
jumlah populasi dari maleo terus berkurang dari tahun ke tahun karena
dikonsumsi dan juga telur-telur yang terus diburu oleh warga. Maleo bersarang
di daerah pasir yang terbuka, daerah sekitar pantai gunung berapi dan
daerah-daerah yang hangat dari panas bumi untuk menetaskan telurnya yang
berukuran besar, mencapai lima kali lebih besar dari telur ayam. Setelah
menetas, anak Maleo menggali jalan keluar dari dalam tanah dan bersembunyi ke
dalam hutan. Berbeda dengan anak unggas pada umumnya yang pada sayapnya masih
berupa bulu-bulu halus, kemampuan sayap pada anak maleo sudah seperti unggas
dewasa, sehingga ia bisa terbang, hal ini dikarenakan nutrisi yang terkandung
di dalam telur maleo lima kali lipat dari telur biasa, anak maleo harus mencari
makan sendiri dan menghindari hewan pemangsa, seperti ular, kadal, kucing, babi hutan dan burung
elang.
28.
IKAN BULALAO (Liza dussumieri)
KHAS GORONTALO
Ikan
Bulalao (Liza dussumieri) adalah spesies ikan berhabitat di air
laut. Ikan ini mirip dengan ikan Belanak (Valamugil seheli) yang merupakan kerabat satu
familia, yaitu Mugilidae. Ikan ini berbentuk kecil memanjang. Ikan
Bulalao banyak ditemukan di kawasan Samudra Pasifik.
Alternatif kata bahasa Inggris untuk ikan Bulalao adalah dussumier mullet.
29. TANGKASI (Tarsius tarsier)
KHAS SULAWESI UTARA
Tangkasi atau yang bahasa
ilmiahnya Tarsius tarsier
(Binatang Hantu/Kera Hantu/Monyet Hantu) adalah suatu jenis primata
kecil, memiliki tubuh berwarna coklat kemerahan dengan warna kulit kelabu,
bermata besar dengan telinga menghadap ke depan dan memiliki bentuk yang lebar.
Nama Tarsius diambil karena ciri fisik tubuh mereka yang istimewa, yaitu tulang
tarsal yang memanjang, yang membentuk pergelangan kaki mereka sehingga mereka
dapat melompat sejauh 3 meter (hampir 10 kaki) dari satu pohon ke pohon
lainnya. Tarsius juga memiliki ekor panjang yang tidak berbulu, kecuali pada
bagian ujungnya. Setiap tangan dan kaki hewan ini memiliki lima jari yang
panjang. Jari-jari ini memiliki kuku, kecuali jari kedua dan ketiga yang
memiliki cakar yang digunakan untuk grooming. Yang paling istimewa dari
Tarsius adalah matanya yang besar. Ukuran matanya lebih besar jika dibandingkan
besar otaknya sendiri. Mata ini dapat digunakan untuk melihat dengan tajam
dalam kegelapan tetapi sebaliknya, hewan ini hampir tidak bisa melihat pada
siang hari. Kepala Tarsius dapat memutar hampir 180 derajat baik ke arah kanan
maupun ke arah kiri, seperti burung hantu. Telinga mereka juga dapat digerakkan
untuk mendeteksi keberadaan mangsa. Tarsius adalah makhluk nokturnal
yang melakukan aktivitas pada malam hari dan tidur pada siang hari. Oleh sebab
itu Tarsius berburu pada malam hari. Mangsa mereka yang paling utama adalah
serangga seperti kecoa, jangkrik, dan kadang-kadang reptil kecil, burung, dan
kelelawar. Habitatnya adalah di hutan-hutan Sulawesi Utara
hingga Sulawesi Selatan, juga di pulau-pulau sekitar
Sulawesi seperti Suwu, Selayar, dan Peleng. Tarsius juga dapat
ditemukan di Filipina. Di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, Sulawesi
Selatan, Tarsius lebih dikenal oleh masyarakat setempat dengan sebutan "balao
cengke" atau "tikus jongkok" jika diartikan kedalam Bahasa
Indonesia. Tarsius menghabiskan sebagian besar hidupnya di atas pohon. Hewan
ini menandai pohon daerah teritori mereka dengan urine. Tarsius berpindah tempat
dengan cara melompat dari pohon ke pohon. Hewan ini bahkan tidur dan melahirkan
dengan terus bergantung pada batang pohon. Tarsius tidak dapat berjalan di atas
tanah, mereka melompat ketika berada di tanah.
30.BIDADARI HALMAHERA (Semioptera wallacii) KHAS MALUKU UTARA
Burung Bidadari halmahera, Semioptera wallacii adalah jenis cendrawasih berukuran sedang, sekitar 28 cm,
berwarna cokelat-zaitun. Cendrawasih ini merupakan satu-satunya anggota genus Semioptera. Burung jantan
bermahkota warna ungu dan ungu-pucat mengkilat dan warna pelindung dadanya
hijau zamrud. Cirinya yang paling mencolok adalah dua pasang bulu putih yang
panjang yang keluar menekuk dari sayapnya dan bulu itu dapat ditegakkan atau
diturunkan sesuai keinginan burung ini. Burung betinanya yang kurang menarik
berwarna cokelat zaitun dan berukuran lebih kecil serta punya ekor lebih
panjang dibandingkan burung jantan. George Robert Gray dari Museum Inggris menamai
jenis ini untuk menghormati Alfred Russel Wallace, seorang naturalis
Inggris dan pengarang buku The Malay Archipelago, orang Eropa pertama
yang menemukan burung ini pada tahun 1858. Burung Bidadari halmahera adalah
burung endemik
kepulauan Maluku
dan merupakan jenis burung cenderawasih sejati yang tersebar paling barat.
Makanannya terdiri dari serangga, artropoda, dan buah-buahan. Burung jantan
bersifat poligami.
Mereka berkumpul dan menampilkan tarian udara yang indah, meluncur dengan
sayapnya dan mengembangkan bulu pelindung dadanya yang berwarna hijau mencolok
sementara bulu putih panjangnya di punggungnya dikibar-kibarkan. Karena umum
ditemukan di rentang habitatnya yang terbatas, burung Bidadari Halmahera
dievaluasi beresiko rendah di dalam IUCN Red List dan didaftarkan dalam CITES
Appendix II.
31.
NURI RAJA AMBON (Alisterus amboinensis) KHAS
MALUKU
Nuri-raja
ambon (Alisterus amboinensis), adalah burung nuri yang endemik
yang ada di Pulau Paleng, Maluku
dan Papua Barat
di Indonesia.
Terkadang, burung ini mengarah sebagai Nuri-raja
Ambon atau Nuri-raja Amboina,
tetapi sebutan-sebutan tersebut bersifat menyesatkan, karena burung ini juga
ditemukan di banyai pulau lainnya selain terdapat di Ambon. Burung Nuri Raja
Ambon sering disebut Nuri Raja saja. Hewan ini dalam bahasa Inggris dikenal sebagai Moluccan
King-parrot, Ambon King Parrot, atau Amboina King Parrot.
Sedangkan dalam bahasa latin burng endemik Maluku ini disebut Alisterus
amboinensis. Nuri Raja atau Amboina King Parrot (Alisterus
amboinensis) merupakan satu dari 3 anggota King Parrot (Genus: Alisterus)
selain Nuri Raja Papua atau Papuan King Parrot (Alisterus
chloropterus) dan Nuri Raja Australia atau Australian King Parrot (Alisterus
scapularis). Penampilan jantan dan betina kelihatan sama, dengan kepala dan
bagian atas badan yang didominasi dengan warna merah, sayap hijau (biru pada
satu subspesies),
dan punggung dan ekor biru. Enam subspesies diakui, tetapi hanya beberapa ini
yang biasa pada avikultur. Di alam liar, burung ini
mendiami hutan hujan
dan memakan buah-buahan,
biji-bijian dan kuncup. Ukuran
mereka 35 cm. Ekornya
panjang dan lebar. Kepala
dan tubuh bagian bawah berwarna merah. Sayap mereka berwarna
seluruhnya hijau gelap. Jantan dan betina mirip. Burung yang masih muda:
terdapat mantel hijau, dan lingkar mata berwarna putih. Suara nuri-raja ambon
mirip dengan suara panggilan Nuri-raja Sayap-kuning.
Dapat ditemukan sampai ketinggian 1200 m. Berpasangan atau dalam kelompok
kecil. Bertengger pada tajuk yang rimbun. Memakan buah-buahan termasuk buah
Lithocarpus dan buah-buahan keras lainnya.
32. CENDERAWASIH MERAH (Paradisaea rubra)
KHAS PAPUA BARAT
Cendrawasih
merah atau dalam nama ilmiahnya Paradisaea rubra adalah sejenis burung pengicau
berukuran sedang, dengan panjang sekitar 33 cm, dari marga Paradisaea.
Burung ini berwarna kuning dan coklat, dan berparuh kuning. Burung jantan
dewasa berukuran sekitar 72 cm yang termasuk bulu-bulu hiasan berwarna merah
darah dengan ujung berwarna putih pada bagian sisi perutnya, bulu muka berwarna
hijau zamrud
gelap dan diekornya terdapat dua buah tali yang panjang berbentuk pilin ganda
berwarna hitam. Burung betina berukuran lebih kecil dari burung jantan, dengan
muka berwarna coklat tua dan tidak punya bulu-bulu hiasan. Endemik Indonesia,
Cendrawasih merah hanya ditemukan di hutan dataran rendah pada pulau Waigeo dan
Batanta di kabupaten Raja Ampat, provinsi Irian Jaya Barat.
Cendrawasih merah adalah poligami spesies. Burung jantan memikat pasangan dengan ritual
tarian yang memamerkan bulu-bulu hiasannya. Setelah kopulasi, burung jantan
meninggalkan betina dan mulai mencari pasangan yang lain. Burung betina
menetaskan dan mengasuh anak burung sendiri. Pakan burung Cendrawasih Merah
terdiri dari buah-buahan dan aneka serangga.
Beberapa
jenis cendrawasih yang dapat ditemui di Indonesia, yakni cendrawasih gagak
(Lycocorax pyrrhopterus), cendrawasih panji (Pteridophora alberti), cendrawasih
kerah (Lophorina superba), cendrawasih paruh-sabit kurikuri (Epimachus
fastuosus), cendrawasih botak (Cicinnurus respublica), cendrawasih raja
(Cicinnurus regius), cendrawasih belah rotan (Cicinnurus magnificus),
cendrawasih bidadari halmahera (Semioptera wallacii), cendrawasih mati kawat
(Seleucidis melanoleuca), cendrawasih kuning kecil (Paradisaea minor),
cendrawasih kuning besar (Paradisaea apoda), cendrawasih raggiana (Paradisaea
raggiana), cendrawasih merah (Paradisaea rubra). Cendrawasih merah bersifat
poligami spesies. Burung jantan akan memikat pasangannya dengan ritual tarian
dengan memamerkan bulu-bulu hiasannya. Musim kawin burung cendrawasih merah
terjadi pada bulan Mei hingga Agustus. Saat musim kawin, paling banyak 3-4
jantan akan memperebutkan satu betina. Padahal, di waktu normal 1-2 jantan
hanya memperebutkan satu betina. Berdasarkan dari
hilangnya habitat hutan yang terus berlanjut, serta populasi dan daerah dimana
burung ini ditemukan sangat terbatas, Cendrawasih Merah dievaluasikan sebagai
beresiko hampir terancam di dalam IUCN Red List.
Burung ini didaftarkan dalam CITES
Appendix II.
33. CENDERAWASIH 12 KAWAT (Seleucidis melanoleucus) KHAS
PAPUA
Cenderawasih 12 kawat (Cenderawasih mati-kawat) atau dalam
nama ilmiahnya Seleucidis
melanoleucus adalah sejenis burung pengicau
berukuran sedang, dengan panjang sekitar 33 cm, dari genus tunggal Seleucidis. Burung cendrawasih 12
kawat adalah burung yang sangat mempesona. Tidak heran kalau dijuluki burung
dewata, burung yang seindah burung surga. Burung ini mempunyai nilai budaya
yang tinggi, karena selalu digunakan dalam upacara-upacara adat. Burung jantan
dewasa mempunyai bulu berwarna hitam mengilap, pada bagian sisi perutnya
dihiasi bulu-bulu berwarna kuning dan duabelas kawat berwarna hitam. Burung ini
berparuh panjang lancip berwarna hitam dengan iris mata berwarna merah. Burung
betina berwarna coklat, berukuran lebih kecil dari burung jantan dan tanpa
dihiasi bulu-bulu berwarna kuning ataupun keduabelas kawat di sisi perutnya.
Cenderawasih 12 kawat ditemukan di hutan dataran rendah pada pulau Irian.
Seperti kebanyakan spesies burung lainnya di suku Paradisaeidae,
Cenderawasih Mati-kawat adalah poligami spesies. Habitatnya adalah hutan hujan dataran rendah
dekat pesisir dan hutan sepanjang sungai-sungai di dataran rendah, terutama di
hutan sagu dan pandanus. Pada umumnya hidup di dalam hutan pamah di Irian Jaya.
Pada waktu tidak terbang, burung-burung ini bertengger pada dahan pepohonan.
Penyebaran burung ini adalah di Salawati, Irian dan Papua New Guinea. Burung
jantan memikat pasangan dengan menggunakan keduabelas kawat pada ritual
tariannya. Setelah kopulasi, burung jantan meninggalkan betina dan mulai
mencari pasangan yang lain. Burung betina menetaskan dan mengasuh anak burung
sendiri. Pakan burung Cenderawasih Mati-kawat terdiri dari buah-buahan dan
aneka serangga.
Spesies ini mempunyai daerah sebaran yang luas dan sering ditemukan di
habitatnya. Cenderawasih Mati-kawat dievaluasikan sebagai Beresiko Rendah di dalam
IUCN Red List
dan didaftarkan dalam CITES
Appendix II.
id.wikipedia.org/wiki/Harimau_Sumatera